Membincang Film di Dunia Digital bersama Sutradara Tilik, Wahyu Agung

Juni 17, 2023, oleh: superadmin

Kemajuan teknologi banyak membantu perkembangan berbagai sektor. Perkembangan teknologi digital dalam kemudahan akses dan memberikan informasi secara khusus memberi berbagai pengaruh, menguntungkan dan merugikan.

Jum’at (15/6/23) lalu tim berhasil bertemu dengan sutradara film Tilik, Wahyu Agung Prasetyo di studionya.

Apa kesibukan saat ini?

Kesibukan saat ini mengurus anak, ke kantor, mengurus beberapa project yang sedang kami kembangkan film pendek dan film panjang, dan yang terakhir baru saja pitching dengan salah satu kementrian untuk program Indonesiana TV. Jadi itu yang akhir-akhir ini saya dan teman-teman Ravacana lakukan.

Bagaimana perjalanan karir di dunia film?

Uniknya adalah saya lebih dulu kenal dengan CIKO (Cinema Komunikasi) pada 2010 di salah satu pemutaran film yang dibuat teman-teman CIKO, yang akhirnya membuat saya memilih masuk ke Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). Jadi, dari 2011 mulai berkecimpung dalam dunia film yang kemudian ketika selesai kuliah saya dan teman-teman membuat production house ini, Ravacana Films. Awalnya berbentuk komunitas, kemudian semakin lama berkembang menjadi bisnis.

Menurut Mas Agung bagaimana kemajuan teknologi membantu di dunia film?

Pasti banyak membantu, sekarang bahkan bisa membuat film bermodalkan ponsel genggam. Banyak pula aplikasi-aplikasi yang membantu kita dalam editing, meskipun aplikasi editing yang secara proper dan profesional masih tetap itu-itu saja. Jadi bisa dikatakan dengan kemajuan teknologi dan digitalisasi seperti hari ini membuat semua orang bisa ‘bikin film’, meski semua orang memang bisa membuat film namun tidak semuanya bisa membuat film yang bagus.

Kemudian review dan rating film, membantu kita untuk akhirnya bisa diakses dengan cepat. Tidak seperti dulu, ketika ada sebuah film misalnya kita bisa tahu dari orang yang menghadiri festival film tersebut yang kemudian disebarkan ke orang lain, seperti ‘kemarin saya nonton di festival ini’ yang kemudian disampaikan ke orang-orang lainnya.

Kalau melihat dari segi penunjang pekerjaan, karena hal-hal teknis seperti kamera mungkin handphone yang kameranya dari tahun ke tahun semakin canggih. Setiap tahun bisa ada teknologi-teknologi baru yang pastinya menunjang. Seperti ketika shooting ada semacam screen besar, kita bisa bikin virtual background, kemudian kita shooting real yang dicampur shooting dengan virtual background yang seolah outputnya menghasilkan kita shooting di lokasi. Jadi, lokasinya yang kita hadirkan di sini.

Tentu feelnya akan berbeda. Sebagai pelaku film yang belajar dari film murni dan pendekatan film saya hal-hal realis, itu terasa, dan dalam sebuah film ada tata cahaya, artistik, hingga blocking pemain. Ketika kita memperhatikan film yang disetting secara real dengan film yang disetting secara green screen, pengalaman nonton kamu akan benar-benar berbeda. Kalau setting secara realis, kamu bisa benar-benar terbawa ke perwujudan yang ada di film itu secara emosi.

Bagaimana tanggapan Mas Agung terhadap perkembangan channel on demand?

Pengalaman nonton yang paling total dan berasa kita dapatkan dari nonton di bioskop, karena bioskop menawarkan gambar yang sangat besar, tajam, dan pengalaman suara yang luar biasa. Kemudian begitu mulai berkembang masuk ke platform online, nonton film itu bisa kita akses di manapun. Terdapat kecenderungan budaya konsumsi yang sedikit berubah dari orang-orang yang menurut saya pribadi tidak menyenangkan, misalnya membuat film yang kemudian ditayangkan di bioskop, banyak orang beranggapan; “Nontonnya nanti saja, sebentar lagi juga muncul di netflix,” atau platform manapun. Meski di lain sisi ketika platform itu muncul, kita jadi ditawarkan film-film yang beragam dan kesempatan yang luas untuk kami para pelaku film khususnya.

Satu hal lagi yang cukup terasa ketika masuk ke platform online adalah adanya pembajakan. Saat saya mengisi seminar beberapa waktu lalu saya mendapat pertanyaan begini; “Kenapa film Indonesia saat ini cenderung monoton, seperti horor semua?” ketika saya tanya bagaimana dia bisa berasumsi demikian, jawabannya adalah nonton di TikTok. Saya sedikit terhenyak. Karena memang akhirnya ketika film-film itu muncul di platform online, besar kemungkinan untuk terjadi pembajakan. Apalagi masyarakat kita belum sesadar itu dengan sebuah karya, dalam artian menghargai karya dengan tepat. Sampai saat ini hal itu masih menjadi musuh bagi kami para pelaku film.

Selama berkarir apa yang menjadi tantangan?

Pertama, tantangan terbesar bagi saya selama berkarir di dunia film yang sampai sekarang masih saya rasakan adalah apresiasi. Kembali lagi kesadaran masyarakat yang belum begitu melek terhadap karya, yang akhirnya banyak menganggap sebelah mata. Dulu saya cukup sering ketika melakukan shooting film pendek, mencari pemain hingga lokasi dianggap sebelah mata dengan pertanyaan, “Shooting apa, sih? Memang tayang di mana?”. Mereka selalu beranggapan film itu akan tayang di TV meski saat ini sebenarnya film bisa ditayangkan di manapun. Sampai akhirnya Tilik kemarin menjadi gebrakan karena akhirnya banyak orang sadar bahwa film pendek bagus-bagus, beragam dan penting.

Kedua, pembajakan. Belakangan ini saya jadi aware tentang hak cipta suatu karya, di mana dulu belum kami sadari karena kami fokus pada pembuatan film itu sendiri. Bahkan, saking fokusnya terhadap pembuatan film, lupa kalau setelah film itu jadi perlu juga yang namanya didistribusikan. Kesadaran tentang hak cipta menjadi penting, apalagi dengan kemajuan teknologi saat ini membuat pembajakan itu tidak sekadar membagikan ulang sebuah tontonan di platform lain, ada juga yang ‘mencuri’ secara karakter, alur cerita, meski dimodifikasi namun sangat terlihat itu adalah karya kita. Ini yang perlu disadari bahwa kita sebagai kreator perlu sadar hak cipta atas suatu karya, karena ketika tidak kita legalkan akhirnya akan banyak dicuri orang.

Pengalaman yang paling berkesan selama berkarir?

Hampir setiap saya membuat film punya proses yang sangat berkesan. Saya selalu percaya membuat film itu seperti manusia bertumbuh yang selalu belajar, dan di film saya selalu belajar, mungkin itu juga alasan mengapa saya begitu mencintai film. Karena ketika saya membuat film, belajar tentang film, hingga berkecimpung di film, saya merasa seperti sekolah yang akhirnya membuat saya tidak pernah berhenti belajar. Semuanya berkesan namun, ketika disuruh memilih salah satu mungkin ketika Tilik akhirnya kemarin bisa viral dan film pendek bisa begitu luar biasa.

Saran atau pesan untuk mahasiswa yang akan berkarir di bidang film?

Sejak dulu saya sadar modal dari seorang pembuat film untuk menjadi seorang pembuat film yang profesional adalah karya. Untuk kamu yang memang ingin berkarir ke dunia film, buatlah karya sebanyak-banyaknya sejak saat ini karena itu menjadi tiket dan latihan untuk kamu yang nantinya akan berkecimpung di dunia profesional, di mana kamu bertanggung jawab atas pekerjaan kamu. Sebelum masuk ke dunia profesional tentu persiapan terlebih dahulu, bagaimana kita mempersiapkan diri kita, bagaimana kita menciptakan karya-karya yang akan menjadi jembatan untuk akhirnya orang-orang bisa percaya pada kita.

Ada satu prinsip yang sejak dulu saya pegang, kesempatan itu tidak akan datang tapi kesempatan kita yang menciptakan, dari kesempatan yang kita ciptakan muncul kesempatan-kesempatan yang lain. Buatlah kesempatanmu. (fsb)