Ketika Empati Disingkirkan oleh Sensasi Komersialisme dalam Produksi Sinetron

Januari 3, 2022, oleh: superadmin

Dunia hiburan menjadi highlight publik belakangan ini saat dipancing dengan salah satu postingan user mengenai salah satu sinetron Indonesia yang memposisikan tempat pengungsian korban Gunung Semeru sebagai lokasi syuting. Ketika para korban sedang cemas di pengungsian akibat erupsi Gunung Semeru, salah satu stasiun TV justru menggunakan kesempatan tersebut untuk meliput hal yang sama sekali tidak berkaitan dengan publik dan tidak memberikan manfaat apapun. Media massa selaku media yang sebaiknya memberikan informasi yang relevan dengan kepentingan publik malah kembali menyajikan hal yang tidak layak untuk konsumsi publik. Fenomena ini pula yang mendorong pakar Komunikasi UMY Taufiqurrahman, S.IP, MA, Ph.D angkat suara. 

“Jika dikaitkan dengan profesi komunikasi ini termasuk ke dalam profesionalisme media dalam bekerja yang memiliki tanggung jawab pada saat produksi sinetron tersebut. Problem nyata yang bisa dilihat dari kejadian ini adalah kurangnya empati dari semua pihak yang terlibat dalam proses produksi sinetron. Pada saat proses wawancara, pihak-pihak yang terlibat memberikan statement pembelaan bahwa mereka tidak memiliki niat untuk memanfaatkan kesempatan. Pada kenyataannya, proses menuju produksi itu sendiri tentu saja harus memuat survey dan juga melakukan pertimbangan yang etis sebelum akhirnya memutuskan hasil akhir produksi,” jelas Taufiqurrahman, S.IP, MA, Ph.D. selaku Dosen Ilmu Komunikasi UMY.

Dosen yang sebagian besar mengajar di konsentrasi Public Relations ini juga menambahkan bahwa pihak produksi sinetron perlu menimbang rasa bagaimana korban mampu menghadapi kesulitan pasca erupsi, alih-alih menggunakan kesempatan tersebut untuk menghasilkan konten yang mengundang perhatian. Ada pula faktor lain yang sering menjadi keprihatinan publik, yaitu komodifikasi di mana mereka memanfaatkan kesempatan untuk menghasilkan keuntungan sekelompok orang tertentu yang tidak hanya terjadi sekali ini. Sebagai contoh, dijadikan wisata bencana pada saat khalayak ramai menggunakan kesempatan tersebut untuk dijadikan konten sampah semata dan bukan untuk memberikan bantuan. Sudah terlihat jelas bahwa tim produksi sungguh memanfaatkan kesempatan tersebut dan hal ini patut dikritisi.

“Media di Indonesia sudah semakin terlihat lebih mengejar target tayang dan keuntungan dibandingkan memberikan konten berkualitas yang mengedukasi. Sehingga cara-cara yang tidak etis itulah yang media Indonesia gunakan untuk meraup keuntungan. Kritik dari publik seperti ini perlu dijadikan sebagai pelajaran berharga yang didapatkan media entertainment dalam memproduksi sebuah sinetron atau karya. Menurut publik dan berbagai instansi pun hal ini sudah jelas tidak pantas diterima dan tidak etis. Apalagi, proses perizinan yang diajukan belum ada kejelasannya. Jika memang fokus untuk menghibur, cobalah untuk memberikan bantuan terlebih dahulu bukan kemudian memanfaatkan kesempatan tersebut untuk memproduksi sinetron yang meraup keuntungan. Tinggikan rasa empati yang tidak hanya mengutamakan kepentingan komersial namun juga harus memperhatikan aspek-aspek sosial yang ada di sekitar,” pungkas Taufiqurrahman.