Dosen Komunikasi UMY Angkat Bicara Mengenai Tragedi Kanjuruhan

Oktober 3, 2022, oleh: superadmin

Kepala Prodi Ilmu Komunikasi UMY Fajar Junaedi, mengutarakan Ada banyak faktor yang saling sengkarut dari Tragedi Kanjuruhan, Senin (3/10/2022). Ini dimulai tiadanya risk management dari panitia pelaksana pertandingan. Terlihat dengan tidak membatasi jumlah tiket yang dicetak, akibatnya penonton yang datang membludak.

“Ketiadaan mitigasi melalui risk management tampak dari permintaan Kepolisian mengenai jam penyelenggaraan pertandingan dan pembatasan jumlah penonton ditolak. Permintaan ini diabaikan oleh Panitia Pelaksana, dengan mencetak tiket yang menurut angka yang beredar adalah empat puluh dua ribu,” ungkap Fajar yang juga penggemar sepakbola.

Ia juga menjelaskan bahwa pertandingan malam itu juga tidak terlepas dari tanggung jawab Indosiar sebagai stasiun televisi pemegang hak siar yang mengejar jam tayang utama. Sengkarut pra pertandingan ini berkelindan dengan Panitia Pelaksana yang mengejar keuntungan semaksimal mungkin dari penjualan tiket masuk. Mereka tidak mengubah jam tayang.

“Jika ada empat puluh dua ribu penonton ditambah aparat keamanan dan petugas yang berada di stadion, tentu kapasitas stadion telah over. Pintu-pintu stadion tentu tidak mampu menampung penonton yang berebut keluar,” tambah Fajar yang diwawancarai secara daring.

Banyak pertandingan sepakbola di Indonesia yang tidak mengumumkan mitigasi oleh panitia pertandingan sebelum pertandingan digelar. Tidak ada pemberitahuan tentang jika terjadi bencana, baik karena alam ataupun karena manusia dan bagaimana melakukan evakuasi.

“Problem menahun inilah yang menjadi persoalan dalam sepakbola kita, dan sekaligus menunjukkan bahwa PSSI, operator liga, dan panitia pelaksana tidak kompeten mengelola kompetisi dan pertandingan sepakbola,” jujur Fajar yang juga sebagai peneliti budaya suporter sepakbola.

Untuk itu, pria yang akrab disapa Mas Jun ini berpendapat mengenai hal yang paling penting agar segera dibenahi adalah tata kelola pertandingan sepakbola di Indonesia. Tragedi Kanjuruhan membuktikan bahwa PSSI dan PT. LIB tidak cakap mengelola pertandingan sepakbola secara profesional. Koordinasi yang buruk dengan aparat keamanan dalam tata kelola pertandingan, seperti adanya gas air mata yang jelas tidak diperbolehkan dalam regulasi keamanan stadion oleh FIFA, semakin memperkeruh bencana.

Problem yang mendasar pula adalah normalisasi hal-hal yang tidak normal dan dibiasakan oleh federasi, operator Liga, dan panitia pelaksana (panpel). Ini dibuktikan dalam situasi dimana pemain tamu datang dengan kendaraan lapis baja bukan bis. Secara harfiah sudah tidak normal, namun pertandingan sepakbola tetap digelar dengan kondisi yang dinormalkan. Ironisnya, Tiket dijual oleh panpel dengan jumlah yang melebihi kapasitas.

“Tragedi  Kanjuruhan bukanlah konflik antarsuporter, akan tetapi merupakan konsekuensi tata kelola pertandingan sepakbola yang buruk. Suporter tamu tidak ada dalam pertandingan. Kerusuhan pecah antara suporter tuan rumah dan aparat. Mitigasi yang diabaikan semakin memperburuk musibah,” jelas Mas Jun.

Sebuah normalisasi dalam tata kelola pertandingan sepakbola yang buruk adalah tidak adanya peringatan mitigasi mengenai jalur evakuasi sebelum pertandingan, jalur evakuasi yang tidak disiapkan, dan panpel yang tidak paham pentingnya mitigasi.

Oleh karena itu, Fajar atau Mas Jun berpesan ke depannya Indonesia perlu belajar dari negara-negara yang berhasil menekan angka kekerasan dalam sepakbola, seperti yang dilakukan Inggris melalui Supporter Act setelah serangkaian hooliganisme di dekade 1980-an. (akn)